RINGKASAN
Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia, khususnya Jawa, sejak lama. Batik merupakan warisan nenek moyang Indonesia yang sampai saat ini masih ada. Suatu kesenian khas yang patut dilestarikan sebagai salah satu icon kekayaan budaya Indonesia.
Berdasarkan perkembangannya batik sudah menjadi industri lebih dari 300 tahun lalu sejak kain itu diperdagangkan. Kini industri batik mendapat tantangan baru. Bukan dari turunnya minat konsumen, tetapi dari cara berproduksinya ketika kini lingkungan menjadi isu penting dunia.
Perkembangan industri batik yang semakin berkembang dan bertambah banyak menyebabkan penggunaan bahan-bahan kimiasemakin bertambah sehingga mencemari lingkungan sekitar. Limbah cair batik yang semakin bertambah dapat mencemari ekosistem air sungai dan udara bersih, karena limbah cair batik menyebabkan air sungai berubah warna menjadi hitam pekat dan menimbulkan bau tidak sedap apabila musim kemarau tiba.
Namun karena permintaan pasar akan produk batik semakin bertambah maka diperlukan suatu proses pembuatan batik yang mampu menghasilkan kain batik dalam jumlah yang banyak. Kemajuan teknologi memberikan peluang bagi industri batik untuk berkembang yaitu dengan ditemukannya teknik batik menggunakan teknik pencapan.
Penggunaan bahan kimia pada teknik ini dalam jangka waktu lama akan memberikan dampak yang negatif. Oleh karena itu sebagai alternatif solusi perlu dikembangkan penggunaan zat warna alam yang dipadukan dengan teknik pencapan. Teknik pencapan merupakan salah satu bagian dari kemajuan teknologi desain yang akhir-akhir ini sudah banyak dikenal dan diterapkan untuk membuat gambar dan motif pada kain batik. Perpaduan dari penggunakan teknik pencapandan penggunaan bahan pewarna alami oleh para pengrajin batik dapat menekan penggunaan bahan lilin dan bahan-bahan kimia lain untuk menghasilkan warna dan motif batik yang dikehendaki. Dengan demikain, jumlah kain batik yang dihasilkan dapat lebih banyak, memiliki nilai seni yang tinggi, dan bersifat ramah lingkungan.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berdasarkan perkembangannya batik sudah menjadi industri lebih dari 300 tahun lalu sejak kain itu diperdagangkan. Kini industri batik mendapat tantangan baru. Bukan dari turunnya minat konsumen, tetapi dari cara berproduksinya ketika kini lingkungan menjadi isu penting dunia.
Limbah industri dan bahan baku pembuatan batik menjadi sorotan, terlebih ketika batik Indonesia diakui sebagai warisan dunia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada tahun 2009. Ketika batik menjadi industri besar, kebutuhan memproduksi dengan cepat untuk memenuhi permintaan pasar menjadi prioritas utama. Berbagai teknologi baru digunakan untuk meningkatkan jumlah produksi.Selainteknologi cap yang mempersingkat proses produksi, ada pula pewarna sintetis yang memberi warna lebih beragam dan lebih cemerlang dari pewarna alam. Pada perkembangannya, proses pewarnaan dan pembuangan lilin dari sisa hasil pembuatan batik akan menjadi sumber pencemaran air dan lingkungan.
Produksi batik secara ramah lingkungan bukan hanya untuk kepentingan ekspor, tetapi juga untuk kepentingan produksi yang berkelanjutan. Industri batik membutuhkan banyak air dalam proses pencuciannya, menggunakan bahan bakar untuk mencairkan lilin dan kemudian melarutkannya, serta menggunakan bahan pewana dan bahan penolong kimia.
Perkembangan industri batik yang semakin berkembang dan bertambah banyak menyebabkan penggunaan bahan-bahan kimia tersebutsemakin bertambah sehingga mencemari lingkungan sekitar. Limbah cair batik yang semakin hari semakin bertambah dapat mencemari ekosistem air sungai dan udara bersih, karena limbah cair batik menyebabkan air sungai berubah warna menjadi hitam pekat dan menimbulkan bau tidak sedap apabila musim kemarau tiba. Upaya untuk mengolah limbah cair juga sudah dilakukan satu-dua pengusaha batik, tetapi belum menjadi kesadaran umum. Hal ini yang berlangsung terlalu lama dapat menjadi nilai minus bagi kesenian batik yang mana seharusnya memiliki nilai budaya sangat tinggi sebagai kekayaan bangsa sehingga pantas untuk dilestarikan dan dikembangkan lebih baik lagi.
Indonesia sebagai salah satu negara tropis memiliki potensi besar untuk dapat menghasilkan dan membuat batik sehat serta ramah lingkungan dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada di alam. Setiap proses dalam pembuatan batik dapat memanfaatkan bahan-bahan alam yang ada di lingkungan sekitar sebagai pengganti bahan-bahan sintetik sehingga pencemaran lingkungan dapat diminimalkan.
Upaya memproduksi batik secara ramah lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan warna-warna yang diperoleh dari hasil ekstrak bagian-bagian tumbuhan yang memiliki kandungan pigmen dengan warna yang menarik. Juga memanfaatkan kemajuan teknologi pencapan yang sudah banyak dikenal dan digunakan untuk membuat batik agar lebih cepat. Sehingga batik dapat tampil dengan keanekaragaman motif dan gambar yang lebih beragam serta mampu memikat konsumen dari seluruh mancanegara. Hal ini menjadikan peluang besar bagi seni batik untuk dapat lebih dikenal dan dikembangkan sebagai kekayaan bangsa yang bernilai tinggi dan pantas dilestarikan.
Teknik pewarnaan pada batik dengan bahan alami sebelumnyalebih banyak digunakanpada teknik pencelupan batik tulis, proses pembuatan batik tulis yang cukup lama menyebabkan jumlah produk batik yang dihasilkan tidak terlalu banyak dan memiliki harga yang relatif mahal. Selain itu pada proses pembuatan batik tulis dengan bahan warna alami masih menyisakan sedikit limbah malam.
Oleh karena itu perlu dikembangkan penggunaan zat warna alam dengan teknik pencapan.Perpaduan dari penggunakan teknik pencapan dan penggunaan bahan pewarna alami oleh para pengrajin batik dapat menekan penggunaan bahan lilin dan bahan-bahan kimia lain untuk menghasilkan warna dan motif batik yang dikehendaki. Sehingga jumlah kain batik yang dihasilkan dapat lebih banyak, memiliki nilai seni yang tinggi, dan bersifat ramah lingkungan.
Tujuan
Tujuan dari penulisan gagasan ini adalah untuk memberikan alternatif atau solusi dalam mengembangkan dan melestarikan kesenian batik yang memiliki nilai kesenian tinggi namun tetap ramah lingkungan. Dengan demikian, produksi batik akan menjadi berkelanjutan dan bertanggung jawab terhadap kelestarian alam.
GAGASAN
Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia, khususnya Jawa, sejak lama. Batik merupakan warisan nenek moyang Indonesia yang sampai saat ini masih ada. Suatu kesenian khas yang patut dilestarikan sebagai salah satu icon kekayaan budaya Indonesia.
Kesenian batik merupakan kesenian gambar di atas kain untuk pakaian. Proses awal membatik harus dilakukan dengan hati-hati dan seringkali seorang pengrajin harus menorehkan serangkaian titik-titik untuk memperoleh sebuah motif batik yang rumit. Sebagai hasil akhir adalah selembar kain batik dengan motif-motif indah yang menarik.
Kain batik yang dibutuhkan masyarakat tidah hanya sebagai pemenuhan kebutuhan sandang, tetapi sering pula dikaitkan pranata sosial masyarakat yang berhubungan dengan batik. Kain batik dengan motif dan warna tertentu sering menjadi simbol bagi pemakainya. Multifungsi dari penggunaan kain batik menjadikan motif dan warna pada kain batik memiliki peran yang sangat penting.
Kreatifitas dalam penggunaan warna pada pembuatan batik menjadi salah satu sorotan utama karena selain menentukan nilai keindahan dari kain batik juga memiliki potensi pencemaran pada lingkungan. Saat ini para pengrajin batik banyak menggunakan bahan pewarna sintetik dalam proses pewarnaan kain. Padahal jenis pewarna ini belum tentu aman justru dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan.Oleh karena itu para pengrajin batik hendaklah dapat beralih untuk memenfaatkan berbagai jenis pewarna alami yang tersedia di alam.
Menurut Husodo (1990) terdapat lebih dari 150 pewarna alami di Indonesia yang telah teridentifikasi dan digunakan pada industri secara luas seperti pada komoditas kerajinan (kayu, bambu) dan batik (katun, wol, sutra). Sedangkan Fitrihana (2007) menyatakan bahwa penggunaan warna-warna dari hasil ekstraksi bahan-bahan alam seperti penggunaan daun pohon nila (indofera), kulit pohon soga tinggi (ceriops candolleana arn), kayu tegeran (cudraina Javanensis), kunyit (curcuma), teh (the), akar mengkudu (morinda citrifelia), kulit soga jambal (pelthophorum ferruginum), kesumba (bixa orelana), daun jambu biji (psidium guajava) sudah banyak digunakan oleh para pengrajin batik.
Sofiawati (2005) menyatakan bahwa beberapa bahan pewarna tanaman juga mampu mempersingkat proses pewarnaan batik menjadi lebih pendek, sehingga tidak diperlukan waktu terlalu lama untuk proses pencelupan batik. Beberapa jenis tanaman yang lazim digunakan sebagai bahan pewarna antara lain buah pinang (untuk menghasilkan warna coklat), bunga srigading (warna kuning emas), bunga bougenville (warna merah muda), kulit akar mengkudu (warna merah), dan daun jati (warna merah marun). Inovasi ini juga dapat dikembangkan ke produk massal dengan cara membuat ekstrak warna dari tanaman menjadi serbuk (powder) atau pasta, sehingga penerapan aplikasi dari bahan warna alami ini dapat lebih luas dan beragam.
Baru-baru ini di Papua ditemukan beberapa jenis tanaman yang memiliki kandungan pigmen pewarna sehingga dapatdijadikan sebagai bahan pewarna alami.Masyarakat papua memanfaatkan bahan alam tersebut sebagai pewarna alami untuk mewarnai alat-alat tradisional maupun tubuh. (Harbelubun, 2005)
Tabel 1. Jenis-jenis Tumbuhan Penghasil Warna Alami
Nama Lokal Nama Ilmiah Famili Sumber Warna
Gaplap Vaccinium sp. Cacinaceae Kuning
Gidu Morinda citrifolia L. Rubiaceae Kuning
Mbereu Curcuma domestica Val Zingiberaceae Kuning
Ufia Mangifera indica L. Anacardiaceae Kuning
Telil Zizipus sp. Myrtaceae Merah
Marka begimu Gmelina sp. Verbenaceae Merah
Worof Syzygium sp. Myrtaceae Hitam
Tanaman-tanaman tersebut dapat menjadi penambah koleksi berbagai jenis bahan warna alami sehingga dapat dijadikan sebagai sumber kekayaan alam yang potensinya dapat digali untuk menjadi bagian dari pelestarian seni batik yang bernilai seni tinggi dan ramah lingkungan.
Pada mulanya teknik pewarnaan pada batik dengan bahan alami ini lebih banyak menggunakan teknik pencelupan karena batik yang dibuat merupakan jenis batik tulis dengan menggunakan canting.Menggunakan teknik ini jumlah produk batik yang dihasilkan tidak terlalu banyak karena penulisan motif dengan canting dan malam panas memerlukan waktu yang lama.Selain itu harga batik tulis cenderung lebih mahal.
Namun karena permintaan pasar akan produk batik semakin bertambah maka diperlukan suatu proses pembuatan batik yang mampu menghasilkan kain batik dalam jumlah yang banyak.Kemajuan teknologi memberikan peluang bagi industri batik untuk berkembang yaitu dengan ditemukannya teknik batik menggunakan teknik pencapan.
Teknik batik cap muncul sekitar tahun 1920, seiring dengan masuknya pewarna tekstil sintetis buatan Cina. Pola batik jenis ini, dibuat dengan canting cap, dimana canting yang digunakan sudah berbentuk pola. Sehingga teknik ini dapat memepercepar proses pembuatan batik sekaligus menghasilkan produk dengan jumlah yang banyak. (Kusumawardani, 2006)
Penggunaan bahan kimia pada teknik ini dalam jangka waktu lama akan memberikan dampak yang negatif. Oleh karena itu perlu dikembangkan penggunaan zat warna alam dengan teknik pencapan. Teknik pencapan merupakan salah satu bagian dari kemajuan teknologi desain yang mana akhir-akhir ini sudah banyak dikenal dan diterapkan untuk membuat gambar dan motif pada kain batik. Perpaduan dari penggunakan teknik pencapandan penggunaan bahan pewarna alami oleh para pengrajin batik dapat menekan penggunaan bahan lilin dan bahan-bahan kimia lain untuk menghasilkan warna dan motif batik yang dikehendaki. Dengan demikain, jumlah kain batik yang dihasilkan dapat lebih banyak, memiliki nilai seni yang tinggi, dan bersifat ramah lingkungan.
Sebelum kain mengalami proses pencapan terlebih dahulu dilakukan mordanting pada bahan yang akan dicap. Proses mordanting dilakukan dengan merendam bahan kedalam garam-garam logam, seperti aluminium, besi, timah, atau krom.Untuk mengganti larutan-larutan tersebut sebagai upaya pemanfaatan bahan alam yang ramah lingkungan dapat digunakan air laut yang kandungan garamnya sangat pekat.Penggunaan air laut pada teknik ini pernah dilakukan oleh seorang pengrajin batik asal Pekalongan.Ini merupakan bagian dari salah satu alternatif proses pengolahan batik dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia. Pada air laut terkandung garam-garam logam yang diperlukan untuk membentuk jembatan kimia antara zat warna alam dengan serat sehingga afinitas warna terhadap serat meningkat.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian perubahan sifat fisika dan kimia kain sutera akibat pewarna alami kulit akar mengkudu yang dilakukan Tiani Hamid dan Dasep mukhlis (2005) dalam Fitrihana (2007) menunjukkan bahwa penggunaan mordan dapat mengurangi kelunturan warna kain terhadap pengaruh pencucian. Hal ini menunjukkan senyawa mordan mampu mengikat warna sehingga tidak mudah luntur.
Selainpewarna alami yang dihasilkan dari tumbuhan dapat juga diaplikasikan penggunaan tumbuhan lain seperti lerak yang mengandung bahan saponin sebagai bahan pengganti sabun berbahan kimia untuk proses pencucian.Pencucian kain batik dengan ekstrak buah lerak terbukti mampu mempertahankan kualitas kain seperti saat dibuat dan kualitas kain menjadi lebih awet.Hal ini dikarenakan ekstrak buah lerak tidak mengandung bahan-bahan deterjen.Dengan menggunakan bahan-bahan yang berasal dari alam selama proses pembuatan batik, maka batik yang dihasilkan akan bernilai lebih tinggi. (Muslim, 2009)
Pembuatan batik sehat ramah lingkungan memiliki beberapa manfaat diantaranya, bagi masyarakat menumbuhkan kecintaan dan kebanggaan terhadap budaya sendiri, meningkatkan kesadaran akan kelestarian lingkungan, menumbuhkan minat untuk mengembangkan kesenian batik. Manfaat untuk dunia bisnis dapat meningkatkan nilai jual kain batik dan meningkatkan jumlah penjualan dalam pasar lokal maupun pasar dunia.
Pewarnaan batik dengan teknik pencapan merupakan salah satu alternatif dalam pembuatan batik ramah lingkungan.Akan tetapi, diperlukan kerjasama dari semua pihak untuk mewujudkan hal tersebut. Harus ada dialog kebijakan bersama pemerintahan dari tingkat lokal hingga nasional mengenai pengolahan limbah batik. Selain itu, diperlukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa batik yang ramah lingkungan akan terus lestari sampai akhir zaman. Para desainer Indonesia yang menggunakan batik ramah lingkungan tentu akan mendapat nilai tambah bagi karya-karya mereka.
KESIMPULAN
Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia.Produksi batik secara ramah lingkungan bukan hanya untuk kepentingan ekspor, tetapi juga untuk kepentingan produksi yang berkelanjutan.Pemanfaatan kemajuan teknologi dalam proses pembuatan batik memberikan kesempatan besar bagi batik untuk dapat berkembang dengan memanfaatkan teknik pencapan untuk menciptakan ragam motif dan gambar pada kain batik.Pewarnaan batik dengan teknik pencapan merupakan salah satu alternatif dalam pembuatan batik ramah lingkungan.Upaya memproduksi batik secara ramah lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan warna-warna yang diperoleh dari hasil ekstraksi bagian-bagian tumbuhan yang memiliki kandungan pigmen dengan warna yang menarik. Inovasi ini juga dapat dikembangkan ke produk massal dengan cara membuat ekstrak warna dari tanaman menjadi serbuk (powder) atau pasta. Alternatif ini dapat menjadikan batik memiliki nilai seni yang lebih tinggi serta menumbuhkan kecintaan dan kebanggaan masyarakat terhadap budaya sendiri sekaligus meningkatkan kesadaran akan kelestarian lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Fitrihana, N. 2007. Sekilas zat Warna Alam untuk Tekstil. http://batikyogya.wordpress.com. [24 Maret 2010]
Harbelubun, A.E, Elisa, M.K, dan Yohanes, Y.R. 2005. Tumbuhan Pewarna Alami dan Pemanfaatannya secara Tradisional oleh suku Marori Men-Gey di Taman Nasional Wasur Kabupaten Merauke.Biodiversitas.6:4 hal 285-288.
Kusumawardani, F. 2006. Sejarah Perkembangan Industri Batik Tradisional di Laweyan Surakarta Tahun 1965-2000.Skripsi.Fakultas Ilmu Sosial. Jurusan Sejarah.
Muslim, D.A. 2009. Menggarap Kembali Potensi Lerak. http://lecture.ub.ac.id. [24 Maret 2010].
Sofiawati, Rahma. 2005. Pewarna Alam batik. http://imajineo.blogspot.com. [24 Maret 2010].