3. Rencana Salya adalah Air Mata Surtikanti.
Di dalam hati Prabu Salya berdesakan perasaan antara nurani bersih – rasa kepatutan – dan hasrat untuk mendapatkan sesuatu. Apapun cara itu, bagi Salya, yang penting terlaksana. Kedua rasa yang saling bertentangan itu bergulung campur aduk, hingga sekian lama Prabu Salya hanya duduk tegak bagai arca yang terhiasi busana. Setelah menarik nafas panjang, dan menetapan hati, berkata Prabu Salya kepada putranya.
“Putraku Rukmarata !!”
“Daulat Rama Prabu”. Jawab Rukmarata yang sedari tadi menunduk diam menunggu perintah dari ramandanya.
“Semoga dewata memberikan ijin dan meluluskan apa yang menjadi kemauan Pamadi.
Selama aku melihat kemenakanku, Permadi, berdesakan rasa dalam dadaku. Alangkah gembira rasa hati ini, pasti juga termasuk hati ibumu, bila kita bisa mendapatkan menantu Permadi, anak Pandu. Itu yang pertama.
Kedua, bila dilihat dari kenyataan bahwa dia bisa menjadikan kraton Mandaraka lebih indah, lagi pula menurut hitungan, Pamadi itu adalah salah satu satria yang terbiasa melakukan darma tanpa pamrih.
Ketiga, adalah kita ini bisa diibaratkan berusaha hendak mengumpulkan daging yang terpisah dan menautkan tulang yang renggang. Oleh sebab itu ada suatu cara yang bakal aku lakukan. Heh Rukmarata!”
“Daulat Rama Prabu, hamba akan setuju saja dengan pendapat Rama Prabu apapun itu. Putra juga berharap, semoga kehendak Rama Prabu dapat terlaksana”. Rukmarata telah paham apa yang menjadi jalan pikiran ramandanya. Dan benarlah, ketika Prabu Salya kali ini mengutus dirinya untuk memanggil kedua kakak perempuannya.
“Hari ini aku kepengin kamu memanggil kedua kakak perempuanmu, Surtikanti dan Banuwati. Segeralah panggil keduanya”.
“ Baiklah, titah rama prabu akan putara laksanakan.“ Tanpa ada bantahan lagi, Rukmarata segera lengser dari hadapan ramandanya.
Demikianlah, tak lama kemudian Rukmarata telah kembali kehadapan Prabu Salya. Rukmarata telah datang dengan diiring oleh kedua kakaknya Surtikanti dan Banuwati. Surtikanti adalah putra kedua Prabu Salya, berwajah ruruh kalem. Wanita ayu, dan sosoknya sedang. Bila berbaur dengan wanita yang berbadan tinggi ia tidak kelihatan pendek, dan sebaliknya bila ada diantara wanita yang berbadan pendek, ia tidak kelihatan kelewat tinggi. Kulitnya kuning langsat bersih bening bagaikan emas yang baru saja disepuh. Dengan sedikit senyum, cenderung serius. Ia berjalan sebelah kanan mengiring adik lelakinya.
Disebelah kiri Rukmarata, Banuwati berjalan dengan langkah gemulai. Sebagaimana kakaknya, Banuwati juga mempunyai paras yang demikian cantik. Bahkan ada sedikit kelebihannya bila dibanding dengan Surtikanti. Gadis putri Prabu Salya yang satu ini memang begitu kenes dan periang. Senyumnya selalu merekah dan matanya yang bulat agak liar dan dinaungi bulu mata lentik, membuat pria siapapun yang terkena kerlingannya seakan runtuh jantungnya. Setiap ucapan yang keluar dari bibirnya terdengar begitu manja dan mengundang perhatian siapapun baik wanita apalagi pria. Memang, putri Prabu Salya yang satu ini memiliki daya tarik kewanitaan yang begitu menakjubkan. Demikian juga selera busananya yang tinggi, walau sebenarnya kulit beningnya dapat membuat semua warna masuk tertata dalam sosoknya yang sintal.
Dan ketika ketiga putranya telah duduk dihadapan ramandanya, dengan senyum bangga, kali ini sejenak melupakan kesedihan hatinya. Ia melihat anak-anak wanitanya seperti halnya memandang asrinya kembang-kembang warna warni penghias istana Mandaraka. Maka kemudian berkata Prabu Salya.
“Anakku Surtikanti, dan Banuwati. Hmmm . . . . . disamping kebahagiaan yang menggunung dalam dadaku ini melihat keberadaanmu berdua, bagimu sekalian juga aku melihat ada kebahagian yang terhampar dihadapanmu, seperti ujud dari turunnya wahyu sejati”.
Sejenak walau baru memulai pembicaraan, Salya berhenti berbicara memandang kedua putrinya bergantian. Surtikanti tetap menunduk sedang Banuwati dengan senyumnya memandang ayahandanya. Salya terseret ikut tersenyum melihat kemanjaan Banuwati. Terusnya.“Itu tidak lain adalah, bahwa aku telah menerima datangnya saudaramu, Permadi. Permadi itu perlu aku jelaskan dulu. Ia adalah putra dari Raja Astina dahulu, mendiang pamanmu Prabu Pandu Dewanata.
Terus apa sebab kamu berdua aku panggil? Begini, orang itu tak akan tahu kapan kebahagiaan itu bakal datang. Hari ini kamu berdua satu demi satu akan aku utus untuk mengajak mampir Pamadi, yang hari ini sudah mengatakan kesanggupannya mencari dimana hilangnya kakakmu Herawati.
Satu-satu dari kamu berdua hendaknya bisa merayunya dengan sikap mesra kalian Tariklah ia agar ia batal pergi mencari Herawati. Sebab menurut hitungan, masih banyak para orang yang kuat tenaganya dan awas mata hatinya, yang aku anggap dapat mencari keberadaan Herawati.
Tapi aku tahu watak Permadi yang kuat seperti mendiang ayahnya. Pasti ia dengan teguh akan tetap berangkat mencari kakakmu. Maka gagalkan maksudnya, jangan sampai Pamadi kukuh kemauannya. Ya kalau ia berhasil, kalau tidak, ia pasti akan malu kembali ke Mandaraka. Dan ini berarti, Mandaraka bakal kehilangan perhiasan yang indahnya tiada terkira”. Begitulah Salya telah menerangkan maksud hatinya dengan menguraikan kepada keduanya memakai bahasa yang menurutnya begitu jelas.
Namun Surtikanti, wanita yang mempunyai tata susila yang begitu genap, masih meragukan apa yang didengarnya. Maka ia dengan memberanikan diri menanyakan apa maksud dari perintah itu kembali.“ Rama, jadi apa yang harus hamba perbuat?”
“Ajaklah Permadi mampir di keputrenmu.” Jawab Prabu Salya tegas.
“Duh Rama, nista apa yang akan hamba sandang. Yang sudah lumrah dan sampai saat ini masih berlaku, yang harus mendahului adalah pria. Bila ada seorang wanita yang berani mengajak pria, walau ia adalah saudara sendiri, maka . . . . .
“Bagaimana? Bagaimana menurutmu . . . . ?!!” Belum lagi selesai Surtikanti menjelaskan, namun Prabu Salya sudah tahu arah pembicaraan Surtikanti. Surtikanti hendak menolak. Maka kata kata Surtikanti dipotongnya, kali ini lebih tegas.
Tetapi Surtikanti melanjutkan, “ . . . .bila ini terlihat oleh umum, apakah tidak jatuh martabat hamba dan wanita umumnya. Apakah hal ini malah akan menjatuhkan nama baik kami terlebih nama baik paduka rama Prabu. Terlebih Rama Prabu adalah . . . “
“Hayoh ajari aku . . . teruskan . . . . Salya kembali memotong. Ia mulai tidak senang, tetapi kemudian ia diam dan memberikan waktu untuk Surtikanti agar terus mengeluarkan unek-uneknya.
. . .terlebih hamba adalah putra raja, dan ajaran perbuatan yang sering Paduka katakan, langkah walau sejangkah, dan ucapan walaupun sekalimat, akan haruslah pantas diteladani oleh para kawula. Ya kalaulah hamba sendiri yang melakukan, bila kemudian melebar kepada kelakuan wanita-wanita lain di Mandaraka, artinya hamba telah menyebar racun.”
“Mmmm tidak seperti anakku. . . . . . . “ Salya berkata dengan nada dalam “Memang benar yang kamu ucap. Aku tidak pernah lupa bahwa aku pernah juga mengajari tata cara seperti itu. Tetapi haruslah dilihat, bagaimana menggunakan dan bagaimana menerapkannya. Artinya, tidaklah aku menyuruhmu menjual diri menawar-nawarkankan. Tetapi semua ada waktunya dan ada tempatnya, dan sekarang waktunya untuk mengalah. Merendahkan derajat, yang pada akhirnya perbuatan ini dikemudian hari akan menambahi nama baik Negara Mandaraka.” Prabu Salya mencoba berkilah, walau tahu ia berkilah sekenanya.
“Mohon maaf rama, adakah cara lain bagaimana cara menaikkan nama baik Negara Mandaraka?”
“Misalnya? “
“Rama, akan lebih bertambah nama baik Negara Mandaraka bila sewaktu waktu paduka berkenan turun melihat keseharian para kawula, tidak hanya didalam negara dan kotanya saja, tapi haruslah sampai ke desa desa terpencil, melihat dengan mata kepala sendiri apa yang terjadi dengan lingkungan orang pinggiran. Dari situ rama bisa menjadikan yang keruh menjadi bening, yang ganjil menjadi genap, yang kurang ditambahkan. Itulah seharusnya yang dapat menaikkan martabat Negara Mandaraka . . . “
“Cukup!! . . . Cukup. . . .” kali ini kesabaran Prabu Salya sudah tak dapat dibendung lagi. Dengan muka merah ia berkata ketus kepada Surtikanti, “Terlalu menggurui kata-katamu. Semua yang kamu ucapkan itu benar. Tetapi, sorga bagi orang tuamu itu adalah, bila mempunyai anak perempuan, haruslah anak itu patuh kepada kedua orang tua. Tetapi sebaliknya, bila kamu kepengin melihat pendek umur orang tuamu, cobalah untuk membantah perintah. Disitulah kamu akan kehilangan kedua orang tuamu! “
“Baiklah bila demikian . . . . . .” jawab Surtikanti yang menunduk semakin dalam. Bila ayahnya sudah marah, maka apapun alasan dan bantahan walau itu benar, akan ditampiknya. Maka kemudian ia memanggil nama adiknya, pelan. “Banuwati . .”
“Apa kanda? “
“Bagaimana ini . . . ? “
“Aku ini lebih muda darimu kanda, jadi hanyalah menurut apa saja kehendak kanda. Aku hanya takut kepada rama prabu. Aku takut membantah perintah Rama Prabu. Lagipula dimana kewibawaan Rama Prabu bila kita sebagai anak selalu menyangkal apa yang diperintahkan orang tua.” Jawab Banuwati enteng.
Mendengar jawaban anak perempuan yang ia sayangi ini, Prabu Salya menggeremang. “Yang lebih muda saja nalarnya matang…. padahal itu adikmu, yang lebih muda”.
Namun kemudian suaranya kembali jelas berkata,“Bagaimana Surtikanti?!”
“Baiklah, bila demikian . . . “ Pelan jawaban Surtikanti hampir berbisik, hingga Prabu Salya kembali bertanya,
“Bagaimana?!”
Namun kembali Surtikanti diam, dan kemudian malah memanggil nama adik lelakinya, “Rukmarata . . .”
“Ya kanda . . “ jawab Rukmarata.
“Bagaimana?”
“Silakan kanda untuk menurut semua kehendak Rama Prabu”. Jawab Rukmarata memotong masalah.
“Baiklah Rama Prabu, hamba akan menuruti apa yang diperintahkan. Walau dengan berat hati, semua pasti akan menjadi ringan bila mengingat bahwa ini adalah perintah dari rama dan ibu.” Akhirnya Surtikanti-pun pasrah.
“Nah . . harusnya begitu. Ha ha ha . tidak urung juga kamu menurut.” Tertawa dipaksakan Salya mendengar jawaban Surtikanti. Kemudian sambungnya kepada Banuwati, “Banowati dari awal sampai akhir semua pembicaraan ini sudah kamu ketahui tak satupun yang terlewat”.
“Begitulah rama Prabu”.
“Nah sekarang pergilah, mumpung Pamadi belum begitu jauh. Lakukan menurut apa yang menjadi kata hatimu, aku percaya kepada kamu berdua”.
Maka kedua putri-putri itupun segera menghaturkan sembah dan undur diri dari hadapan Prabu Salya. Sesuai dengan perintah, maka satu demi satu dimulai dari Surtikanti, mencoba untuk menggagalkan kepergian Arjuna.
—————————————————————————————————
Sementara diluar istana, para punakawan Pamadi yang lain, Gareng, Petruk dan Bagong menunggu dengan tidak sabar. Maka ketika dilihat ayah dan bendaranya, Pamadi, nampak keluar dari pendapa, ketiganya segera menghambur kearah datangnya orang orang-orang yang ditunggu.
“Gong, nggak seperti rencana kita ya, ketika itu Raden Pamade melihat pemberitahuan adanya sayembara itu. Kita berempat diajak semua ke Mandaraka. Tapi kok hanya mereka berdua yang masuk ke istana. Mereka pasti dapat suguhan. Pasti melimpah ruah suguhan makanannya ya Gong?!! Lha kita disini hanya membaui saja sampai kita jadi semakin lapar. Eee . . boro-boro mereka ingat, menyuruh orang mengantarkan makanan kemari saja nggak dipikirkan”. Petruk yang kesal menumpahkan unek-uneknya yang terbawa rasa lapar yang dari tadi ditahannya.
“Lho iya, semuanya kan hanya soal tebal tipisnya rasa kemanusiaannya, begitu . . ! makanya liat itu, Semar diam saja. Sepertinya ia tersedak centong. Mau ditelan susah, dikeluarkan apa lagi, lebih susah. Makanya liat saja kang, dia diaaam saja”. Bagong tidak mau kalah, malah Semar di sindirnya.
“Eeeh anak ini ngomong seenaknya. Apa kamu pikir aku didalam disuguh makanan enak? Aku didalam itu cuma menelan ludah, tahu!! Yang lain pada minum seger, tapi aku nggak diberi layanan”. Kali ini Semar ganti jengkel.
Terpancing sindiran Bagong.
“Kalau dibegitukan aku nekat Ma!!” Gareng ikut nimbrung bicara.
“Eeeeeeeh . . . nekat macam mana?”
“Misalnya pelayan yang meladeni, kamu cegat. Katakan mau kasih minum aku, apa nyawamu hilang , begitu.!”
“Itu namanya ngaco!!” jawab Semar memutus.
“Tapi ngomong-ngomong, kok lama bener to, ma?” Kembali Petruk menanyakan sebab musabab lamanya ia naik ke pendapa.“Lha mestinya singkat saja, minta restu, Raden Pamadi mau ikut mencari putri paduka, dewi Herawati. Itu saja cukup”.
Tidak mau disalahkan, lalu Semar menceritakan bagaimana Permadi diperlakukan oleh Prabu Salya dengan cerita cerita haru di sidang tadi, tapi dengan dibumbui serba lucu.
“Dari itu aku jadi kelamaan disana, sambung Semar. Malah setelah itu, saking senengnya Prabu Salya sama bendaramu dan aku, aku disuguhinya makan nasi kuning, telornya tiga butir”. Sekarang Semar mulai ngambul. Ketiga anaknya menelan ludah.
“Lha mbok aku dibagi to ma. Lah kamu makan disana sendirian, terus kamu ceritakan disini. Apa itu bukan namanya bikin orang jadi kepingin. Ngiming-imingi gitu!”.
“Hanya untuk aku saja, wong cuma sepiring itu. Tapi aku juga diberi lauk emping yang luebar. Juga dilengkapi timun diiris iris. Timun dibumbu kemiri, kamu gumun (heran) aku pameri.”
“Lha, rama malah berpantun. Apa juga dikasih buah ma?”
“Ooh tentu. Aku disuguhi mangga Pertanggajiwa, asalnya dari Kahyangan”.
“Waaah rama itu malah cuma bikin ngiler saja. Tapi manis ma mangganya?” sekarang Gareng yang ganti nanya
“Maniiiiiss . . . . !!“
“Asin ma?” Tanya Bagong ngawur.
“Aaaassiiiinn”. Walau ngawur, Semar tetap menjawab.
“Mangga itu aku habis tiga butir”. Semar makin menambah-nambahi bualannya.
“Aduuh apa rama nggak inget aku diluaran yang kelaparan itu ma?” tanya Petruk yang perutnya makin keroncongan dan air liurnya menetes.
“Ngggaaak tuh. Kamu juga kalau dapat rejeki juga kamu telan sendiri. Ngapa saya harus ingat kamu?”
“Tapi aku kan anakmu to ma? Lumrahnya orang tua itu mesti ingat sama anak, begitu kan ma?”
“Emaaang, tapi bagaimana sifat anaknya. Aku nggak ingat kamu itu karena bagaimana tingkah lakumu”.
“Yang mana?” tanya Petruk membela diri.
“Yang itu. Kamu kenduri, orang lain diundang dioleh-olehi besekan, malah aku kamu lewati”. Petruk diam merasa salah. Pura pura tidak bersalah malah ia menanya lagi.
“Lha anu ma, minumannya kamu dikasih apa?”
“Eeeeh . . . . ya macam-macam. Ada legen, ada segala macam air tape”. Semarpun tetap menanggapi Petruk dengan bualannya yang makin membuat mereka menelan ludah.
“Aduuuh Gong, kyaine makan minum enak begitu, kok kita cuma disuguhi ceritanya doang. Menurutmu bagaimana Gong?”
“Biar saja. Aku tutup kuping kok. Lihat saja nanti kalau aku jajan, Semar bakalan aku iming-imingi, kapok dia nanti”. Jawab Bagong kesal.
“Eeeeehh . . . aku sudah kenyang, kamu mau apa?”
Merasa kalah, Bagong diam. Tapi Petruk nyerocos terus tanya hal yang lain. Pikirnya kalau terus-terusan ngomong makanan, pasti akan membuat perutnya makin mules “Terus kyaine disuruh duduk dimana?”
“Aku dipersilakan duduk dilantai yang diberi alas karpet tebal. Rupanya dianya sangat menghormati aku”.
“Dianya itu siapa?”
“Ya itu, Prabu Salya. Sewaktu aku duduk disitu aku dikipasi tiga orang.”
Kesal Petruk menanya sekenanya.”Lho dikipasi kok tidak mendidih?
“Lho apa aku kamu anggap anglo, begitu? Eeeee selesai cuci mulut, aku disuguhi kopi panas”. Kembali Semar membual soal makanan. Tetapi Petruk masih juga menanggapi.
“Lha iya to?”
“Temen minum kopinya, pisang kepok”
“Digoreng?”
“Nggak cocok, dibakar! Dalamnya diisi gula jawa.”
“Habis berapa?”
“Cuma habis tiga!!!” kembali Semar menyebut bilangan tiga.
“Truk, disekitar sini ada tempat sepi nggak?!” Kesal, Bagong ngomong ketus.
“Mau apa Gong?”
“Anu . . . ., Semar mau aku rogoh perutnya. Geregetan aku, disini ndomble kelaparan malah cerita makanan enak”.
Tapi Semar makin menjadi-jadi “ Eeeeh . . . Ada lagi, aku juga disuguhi lemper”.
“Sudah kenyang begitu masih juga makan lemper? “ Tanya Petruk.
“Lha iya. Dalemnya isi abon. Setelah itu juga ada arem-arem.”
Gareng sekarang yang tanya, “Apa badanmu bisa gerak ma?”
“Suka-suka aku. Ini badan-badanku sendiri. Mau bergerak, ini badanku, nggak juga badanku. Masih ada lagi suguhan, uli ketan. Lemang. Habis lemang . . . .”
“Apa nggak modar aja kamu ma? Orang nggak inget anak, malah kamu pameri anakmu?” kali ini Gareng yang sewot.
“Eeeeh he he he . . . . itu kalau disuguhi beneran. . . . “ Akhirnya setelah puas meledek, Semar terkekeh kekeh. Puas meledek ia berkata, “Sebenarnya begini, momonganmu itu disana malah disuruh jangan ikut-ikutan mencari hilangnya Erawati. Kalau mau beristri cantik pilih saja satu diatara anakku, kata Sinuwun Salya. Kamu mau pilih Surtikanti atau Banuwati silakan saja. nDara Pamadi tetap kukuh. Tapi, menurut gelagat, pasti momonganmu bakal dicegat. Lihat saja.”
“Lha itu apa. ndara, itu siapa yang datang kemari?” Tanya Petruk ketika melihat wanita cantik datang diiring para dayangnya.
Benar saja. Surtikanti bejalan mendekat kearah mereka. Skenario ayahnya telah mendorongnya menemui Pamadi. Setelah mendekat dan Surtikanti tak kunjung membuka mulut, Pamadi menanya terlebih dulu.
“Siapa nama andika, Raden Ayu?”
“Adimas walaupun baru kali ini aku kenal denganmu, anggaplah kalau aku dan kamu sudah kenal lama “
bukannya menjawab nama, malah Surtikanti mencoba langsung melakukan pendekatan.
Sejenak Pamadi diam, kemudian katanya , “Apakah saya harus berlaku bohong. Sebab pada kenyataannya baru kali ini aku mengenalmu Raden Ayu. Kecuali itu, saya adalah seorang satria yang harus selalu memegang teguh jiwa kesatrianya. Bila diketahui orang banyak aku berlaku sembrono, maka tidak urung dewata akan mengutuk perbuatanku.”
“Kata-kamu memang benar Pamadi, tapi itu hanya berlaku untuk orang lain. Tapi bagiku harusnya tidak begitu”.
Surtikanti gugup, tapi kemudian ia mencoba kembali membela diri.
“Bagiku setiap pergaulan haruslah tidak membeda bedakan. Apalagi dalam pergaulannya dengan wanita. Saudara atau bukan, aku harus menjunjung drajat kaum wanita, selalu menjaga kesusilaan dan selalu menjaga keutamaannya. Kalaulah aku berani berlaku ceroboh, sembrono apalagi sampai menabrak kesusilaan, alangkah nistanya aku. Boleh dikata adalah orang yang tidak ada harganya sama sekali”.
“Apakah kamu sudah tahu siapa aku Pamadi?”
“Terlebih lagi, bagiku andika belum aku kenal. Bagiku andika mengajakku lebih dekat lagi, apakah tidak namanya membuat aku kecewa nantinya”.
“Aku putri kedua Prabu Salya, setelah kanda Herawati, namaku Surtikanti, Pamadi”
“Ya raden ayu”. Pamadi tidak berubah sikap setelah tahu dihadapannya adalah Surtikanti.
“Jangan lagi menyebutku raden ayu, sebut aku kanda saja. apalagi kita jelas hitungannya. Bila kamu dan aku hubungannya tidak jelas, dalam kebiasaannya sudah menyebutkan, bila kita duduk berdua selama setengah hari, maka rasanya sama seperti kita sudah menjadi kerabat dekat saja. Lebih dari itu, jangan berlaku sungkan terhadapku, Pamadi.” Jurus pendekatan terus Surtikanti jalankan, maka sambungnya, “Pamadi, orang tampan itu tetaplah lestari tampan bila tidak pernah membuat sakit hati wanita”.
“Kalau menurutku hal itu adalah kebalikannya. Kanda dewi, janganlah menilai orang dari ketampanan wajah. Tetapi haruslah sampai kepada ketampanan rasa. Sedangkan yang namanya ketampanan atau kecantikan rasa adalah, bila ia mampu bergaul dengan semua golongan tanpa membedakan pangkat dan derajat. Tetapi bila diukur dengan ketampanan lahiriah tidak urung akan seperti halnya burung yang tidak mampu mengepakkan sayapnya”.
Surtikanti pura-pura tidak mendengar omongan Pamadi dan ia kemudian mengganti pembicaraan. “Orang orang semua mengatakan, orang tampan kok ganjil”.
Ganjil yang dimaksud bagaimana, kanda Dewi?.
“Kainmu sudah lusuh, sabukmu sudah pudar warnanya. Sedangkan wrangka kerismu seakan tak pernah digosok. Adimas, kalau orang-orang mengetahui, bahwa adimas adalah masih kerabat Mandaraka, alangkah malunya aku. Oleh sebab itu dimas, ayolah mampir dulu ke keputrenku. Bebersihlah, dan disana akan aku suguhkan air. Walau hanya seteguk, minuman itu biarlah menjadi pelepas dahaga. Adimas juga telah aku sediakan kain pengganti walau hanya selembar, tapi kain itu adalah kain batik yang aku buat sendiri”.
“Terus terang saja kanda dewi, kalau ada seorang satria, yang berhenti melakukan darma karena dari rayuan wanita, maka hidupnya akan menjadi nista. Ya kalau kenistaan itu berlaku hanya untuk diri sendiri, kalau hal ini merambah ke seluruh keluarga, maka hal ini akan menyebabkan kesengsaraan bagi seluruh keluarga”.
“Ya benar, tapi ini beda”. Jawab Surtikanti yang sebenarnya sudah kesal dan hampir putus asa. Tetapi ia masih ingat kepada orang tuanya. Karena itu ia masih mencoba bertahan
“ Apa bedanya.”
“Aku ini kerabatmu”.
“Hal seperti tadi aku katakan, tidak memandang siapapun . . .”. Pamadi menjawab terus terang. Namun ketika melihat Surtikanti membalikkan badan, serasa ia hendak menarik ucapannya. Tapi terlanjur diam ketika kemudian Surtikanti berkata terputus-putus.
“Nista benar aku ini. Telah aku bela-belakan pasang badan soroh jiwa, hanya untuk dijenguk tempat keputrenku. Tetapi ditolaknya aku. Kau pandang aku layaknya daun kering yang sama sekali tidak punya harga . . . . ”.
Surtikanti sudah ada dalam puncak keputus asaan. Tidak ada lagi cara baginya untuk mengajak mampir Pamadi. Ia telah merasa gagal menjalankan perintah ayahandanya, menggagalkan keberangkatan Pamadi. Hatinya menangis bahkan menjerit. Namun tidak ada sepatah kalimatpun yang keluar dari mulutnya kali ini. Hanya ujud kewadagannya saja yang menandai bahwa Surtikanti begitu perih hatinya, yaitu air matanya yang butir demi butir mengalir.